Sejarah Pegatan Katingan Kuala :
Kajian Historis dan Dinamika Transisi Kepemimpinan Mendawai, Kotim, dan
Katingan (Bagian 1)
Ditulis
Oleh : M Najeri Al Syahrin., S.IP., M.A.
Rakit kayu di Sungai Katingan (Dekat dari Pegatan) dari Perusahaan Kayu Bruynzeel Sampit Tahun 1949 |
Dalam
perjalanannya, sebagai suatu daerah wilayah permukiman penduduk, Pegatan tidak
bisa dipisahkan dalam hubungannya dengan Mendawai, yaitu sejak masa Kerajaan Mendawai
sampai dengan kekuasaan Kerajaan Kotawaringin (Kutaringin). Pusat Kerajaan
Kotawaringin tersebut berada di daerah Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat
saat ini sampai dengan akhir masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Kemudian, setelah itu wilayah Pegatan masuk kedalam daerah Kabupaten Kotawaringin
Timur yang beribukota di Sampit, sebelum kemudian di mekarkan kembali menjadi
salah satu daerah yang masuk dalam pemerintahan Kabupaten Katingan.
Pada zaman dahulu, Pegatan-Mendawai merupakan salah satu
wilayah yang masuk dalam kekuasaan Kerajaan Mendawai, sampai saat ini sebutan
Pegatan-Mendawai masih melekat, utamanya untuk membedakan dengan daerah Pagatan
di Kota Baru Kal-Sel. Kekuasaan kerajan Mendawai dahulu diceritakan meliputi
daerah muara sungai Katingan termasuk daerah Pegatan dan sekitarnya. Kurangnya
referensi dan sumber sejarah tentang kerajaan Mendawai sangat menyulitkan
penulis untuk memberikan gambaran mengenai seberapa besar dan kuatnya pengaruh kerajaan
Mendawai terhadap Pegatan dan daerah-daerah lain khususnya di Katingan. Ada beberapa jurnal berbahasa Belanda yang menurut penulis mungkin bisa memberikan gambaran
tentang Kerajaan Mendawai atau setidaknya kondisi desa Mendawai sejak tahun
1878, 1908, dan tahun 1950-1957. Jurnal pertama di tulis pada tahun 1878 yang
berjudul "Mendawai-Rivier Van De
Mond Tot Loeboe” (Ekspedisi menggunakan kapal Oenarang). Kemudian tulisan Survey
Vessel pada tahun 1908 yang berjudul “Zuidkust
Borneo, Mendawai-Rivier En Mond Der Pemboeang-Rivier” yang kemudian
dipublikasikan oleh Department of The Navy Hydrographic Den Hag pada tahun
1908. Kemudian tulisan “Mendawai-Rivier”
oleh Kooimans dan Gezagh de Groot yang pada waktu itu melakukan ekspedisi
menggunakan kapal Burdjamhal dan Zuirderkruis pada tahun 1957 dan 1950. Ketika
penulis mencoba mencari dan mengakses file dokumen sejarah tersebut, ternyata hanya
bisa diakses dengan membeli username
dari situs ArchivePortalEurope.Net.
Demang Anoem Tjakra adalah Penguasa Mendawai Pada Masa Lampau. |
A. Pegatan-Mendawai
Dalam Masa Kepemimpinan Kesultanan Banjar
Sebelum
abad 14, daerah aliran sungai Katingan termasuk daerah yang masih belum
terjamah, belum banyak pendatang dari daerah lain. Saat itu, satu-satunya alat
transportasi adalah perahu, dan setiap suku yang ada dipimpin oleh Kepala
Suku/Bakas Lewu. Mendawai merupakan salah satu lewu (kampung) tertua di daerah
aliran sungai Katingan. Tahun 1350, kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin
dan Mendawai, kemudian tahun 1365 kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan
Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520,
pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak,
agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin dam Katingan (Tjilik Riwut,
2007:107)
Dokumen tertua yang menyebutkan "Sampit dan Katingan adalah buku kakawin
Negarakertagama karangan Mpu
Prapanca tahun 1365, pada syair ke-13 yang berbunyi:
“Le tekang nusa Tanjungnagara ri Kapuas lawan ri Katingan-Sampit mwang Kuta Lingga mwang i Kuta Wawaringin Sambas mwang i Lawas”. Pada masa Kerajaan Majapahit tersebut, Sampit dan Katingan (Mendawai-Pegatan) disebutkan termasuk sebagai salah satu daerah teritorial "Nusantara”. Daerah ini menikmati otonomi dan kebebasan internal serta Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan pejabat birokratnya atau tentara militernya di wilayah tersebut. Kerajaan Mendawai yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diberikan kekuasaan otonomi untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus merasa dibawah bayang-bayang Majapahit. Kerajaan Majapahit hanya menuntut loyalitas berupa upeti tahunan dengan persyaratan tidak memberontak dengan maksud akan memisahkan diri. Itulah mengapa, kerajaan Mendawai dan kerajaan Banjar pada umumnya tidak merefleksikan kebudayaan Jawa secara utuh dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Di masa kekuasaan kerajaan Hindu, upeti dibayarkan kepada Majapahit, maka kemudian di masa kerajaan Islam berkuasa upeti dibayarkan kepada kerajaan Demak, tetapi hal itu tidak berarti kerajaan Banjar dan Mendawai menjadi bawahan Demak. Hanya ada semacam aliansi, dimana kerajaan Banjar dan seluruh wilayahnya berada dalam naungan Kerajaan Demak. (Barjie. 2014:43)
“Le tekang nusa Tanjungnagara ri Kapuas lawan ri Katingan-Sampit mwang Kuta Lingga mwang i Kuta Wawaringin Sambas mwang i Lawas”. Pada masa Kerajaan Majapahit tersebut, Sampit dan Katingan (Mendawai-Pegatan) disebutkan termasuk sebagai salah satu daerah teritorial "Nusantara”. Daerah ini menikmati otonomi dan kebebasan internal serta Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan pejabat birokratnya atau tentara militernya di wilayah tersebut. Kerajaan Mendawai yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diberikan kekuasaan otonomi untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus merasa dibawah bayang-bayang Majapahit. Kerajaan Majapahit hanya menuntut loyalitas berupa upeti tahunan dengan persyaratan tidak memberontak dengan maksud akan memisahkan diri. Itulah mengapa, kerajaan Mendawai dan kerajaan Banjar pada umumnya tidak merefleksikan kebudayaan Jawa secara utuh dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Di masa kekuasaan kerajaan Hindu, upeti dibayarkan kepada Majapahit, maka kemudian di masa kerajaan Islam berkuasa upeti dibayarkan kepada kerajaan Demak, tetapi hal itu tidak berarti kerajaan Banjar dan Mendawai menjadi bawahan Demak. Hanya ada semacam aliansi, dimana kerajaan Banjar dan seluruh wilayahnya berada dalam naungan Kerajaan Demak. (Barjie. 2014:43)
Kraton Kesultanan Banjar Yang Pada Masa Lampau Menguasai Wilayah Pegatan-Mendawai dan Katingan |
Menurut salah satu sumber di Wikipedia, Mendawai merupakan
salah satu pelabuhan Kesultanan Banjar, nama tersebut sudah ada dan disebut di
dalam Hikayat Banjar yang bagian
terakhirnya ditulis pada tahun 1663.
Di dalam Hikayat Banjar disebutkan Pangeran Martasari putera Pangeran Mangkunagara sempat maadam
(merantau) ke
kampung Mendawai dan berencana meminta bantuan kepada Kesultanan Mataram untuk
mengkudeta Sultan Saidullah, tetapi rencana itu gagal karena ia akhirnya sumalah (mangkat) di Mendawai, kemudian
jenazahnya dibawa ke Martapura dan dimakamkan di istana. Pangeran Mangkunagara
merupakan putera gahara dari Putri Nur Alam binti Pangeran
Di Laut, permaisuri Sultan Hidayatullah I, tetapi gagal menjadi pengganti
Sultan Hidayatullah I, karena yang dinobatkan adalah Pangeran Senapati/Marhum
Panembahan/Sultan Inayatullah.
Potret Kehidupan Pasar dan Masyakarakat Banjar pada Masa Silam |
Dalam Hikayat Banjar juga di jelaskan bahwa
Mendawai memang berada di bawah kesultanan Banjar sejak abad ke-14. Maharaja
Suryanata, gubernur Majapahit yang memerintah di Kerajaan Negara
Dipa (Amuntai) dengan wilayahnya yang terbentang dari Tanjung
Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut
Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit,
Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Pembuang Sebangau,
Mendawai, Katingan, dan Sampit yang mana masing-masing kepala daerah-daerah
tersebut disebut Mantri Sakai (Slamet Mulya, 2003). Selain itu, dari
sumber sejarah yang lain disebutkan juga bahwa Katingan sudah termasuk ke dalam
wilayah Kerajaan Banjar-Hindu (Negara Dipa) sejak Lambung Mangkurat berkuasa
dimana kala itu terdiri dari 2 sakai (daerah)
yaitu Mendawai (di bagian hilir) dan Katingan (di bagian hulu).
Sampit tahun 1939, Terlihat Masjid dan Koran School. Waktu itu Sampit, Menjadi Bagian dari Kesultanan Banjar. |
Wilayah kesultanan Banjar
Raya adalah sebutan bagi negeri-negeri yang menjadi wilayah pengaruh mandala
kesultanan Banjar, khususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad-abad sebelumnya,
dinyatakan klaim kekuasaan Banjar atas daerah-daerah ini dimulai sejak tahun
1636 (Kartodirdjo,1993:121). Dalam perjalanan sejarah, ketetapan wilayah
kesultanan Banjar tidak dapat dilihat jelas dengan batas yang tetap karena
dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel, hal
ini disebabkan oleh perkembangan kesultanan Banjar yang naik turun akibat
pengaruh konflik saudara dan campur tangan Belanda. (Sahriansah,2016:10)
Orang-Orang Dayak (Barito-Kahayan-Katingan) Sedang Menuju Banjarmasin untuk Berdagang. |
B. Pegatan–Mendawai Dalam Masa
Kepemimpinan Kesultanan Kotawaringin
Hikayat
Banjar memberikan penjelasan bahwa Mendawai dan Katingan termasuk dalam
wilayah Kesultanan Banjar di bawah kekuasaan Sultan ke-4 yaitu, Sultan Mustain Billah (Marhum Penembahan). Tahun
1615, kesultanan Banjar merealisasikan berdirinya kerajaan Kotawaringin
(Kutaringin). Kemudian wilayah Mendawai-Katingan merupakan salah satu daerah kekuasaan Sultan
Mustain Billah diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma yang
kemudian menjadi adipati/raja Kotawaringin menggantikan mertuanya Dipati
Ngganding yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah pantai
Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah: Sampit, Mendawai, dan
Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para
kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke
pedalaman. (Barjie, 2016:133)
Bagi kesultanan Kotawatingin saat itu, istilah Sultan
hanya diigunakan dalam birokrasi internal dan dalam hubungan dengan dunia luar
selain dengan kesultanan Banjar. Sementara itu, ketika berhubungan dengan kesultanan
Banjar, semua Sultan Kotawaringin menyebut dirinya sebagai Pangeran (Raja Muda),
hal ini karena mereka mengganggap para Sultan Banjar sebagi saudara tua. Dalam
buku“Sejarah Singkat Kesultanan Kotawaringin dan Silsilah Raja-Raja Kotawaringin”
diceritakan bahwa Sultan Banjar Mustain Billah memiliki 2 orang putera, yaitu
pangeran Adipati Antakusuma yang bergelar Pangeran Bengawan dan Pangeran
Adipati Tuha yang bergelar Pangeran Inayatullah. Pada tahun 1678, Sultan
Mustain Billah meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya, Pangeran
Inayatullah hingga tahun 1685. Ketika sultan Mustain Billah masih memerintah,
beliau mengutus anaknya ke daerah Kotawaringin untuk membangun Kerajaan disana.
(Hermanu.
2014:27)
Kerajaan Kotawaringin saat Penobatan Pangeran Kasuma Anom Alamsyah (1939-1948) |
Setelah Pangeran Inayatullah menjadi Sultan Banjar
yang ke-5, maka Pangeran Adipati Antakusuma secara sukarela meninggalkan istana
dan melakukan perjalanan ke arah barat kesultanan Banjar. Tujuannya adalah
mencari daerah kekuasaan baru sebagai perpanjangan dari kesultanan Banjar di
Banjarmasin. Pangeran Adipati Antakusuma kemudian melakukan perjalanan laut
dari Sungai Barito menyisiri tepian pulau Kalimantan ke arah Barat. Dalam
perjalanannya Pangeran sempat berhenti dibeberapa tempat, salah satunya di
Sebangau. Dalam beberapa tulisan lain, Sebangau sering disebut sebagai suatu
nama daerah dan sering menjadi tempat transit bagi yang ingin melakukan perjalanan
melintasi Tanjung Malatayoer (Tanjung Matayur). Penulis menduga pada masa
silam, di Sebangau juga ada kerajaan kecil, meskipun kini bukti sejarahnya
sangat sulit untuk di temukan. Perjalanan Pangeran Adipati Antakusuma setelah
dari Sebangau kemudian dilanjutkan ke Mendawai, Sampit, dan Pembuang. Melihat
rute perjalanan yang dilakukan, Pangeran melakukan perjalanan dengan memasuki
daerah aliran sungai Mentaya, Pembuang, Sebangau, dan Katingan melewati
Pegatan. (Barjie,2016: 133).
Peta Tanjung Malatayur Pegatan oleh Belanda Pada Tahun 1930 |
Pada akhirnya, rombongan tiba di Rantau Pulut, bagian
hulu sungai Seruyan. Atas kesepakatan berbagai pihak, diangkatlah pangeran
Adipati Antakusuma bin Sultan Mustain Billah sebagi Sultan pertama Kotawaringin
dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin dan memimpin mulai tahun 1615-1630 M. Menurut
M Ali Fadillah, Kotawaringin Lama adalah bekas ibukota
pertama Kerajaan Kotawaringin. Keyakinan ini didasarkan pada bukti penemuan bukti-bukti arkeologis deposit pecahan
keramik impor terutama berasal dari Cina, Thailand, dan Vietnam. Serta
ditemukan pula ratusan fragmen wadah tembikar dari berbagai bentuk. menunjukkan
kekunaan dan sekaligus kompleksitas ibukota, yang antara lain diindikasikan
oleh konsentrasi sisa bangunan kuna seperti “keratin”,
masjid typique, makam-makam raja, serta struktur lainnya yang menunjukkan
kurun waktu tertua dari abad XIV sampai abad XVII. Dengan demikian, baik
peninggalan yang bersifat monumental maupun artefaktual, keseluruhannya telah
menjadi bukti bahwa sejak abad XVII di Kotawaringin pernah berkembang sebuah
masyarakat yang telah teroganisir baik dalam domain sosial politik,
ekonomi maupun budaya.
Masjid Kerajaan Kotawaringin yang di bangun oleh Kyai Gede. |
Pada saat kesultanan Kotawaringin berkuasa saat itu, masyarakatnya
dan wilayah wilayah kekuasaan disekitarnya (Mendawai) tidak perlu membayar
upeti kepada kesultanan Banjar, tapi memberikannnya kepada sultan Kotawaringin.
Disini terjadi transisi penting bahwa kerajaan Mendawai saat itu secara kekuasaan
sudah tidak lagi berinduk kepada kesultanan Banjar di Banjarmasin tetapi kepada
kesultanan Kotawaringin, hal ini juga
secara langsung berakibat kepada penyerahan upeti, yang sebelumnya diberikan
kepada kesultanan Banjar kini beralih kewajiban penghantarannya kepada Sultan
Kotawaringin. Meskipun pada saat itu Sultan Banjar sering membebaskan upeti
kepada daerah-daerah tertentu. Selain itu, banyak juga wilayah
kekuasaan lain yang membayar upeti kepada kesultanan Banjar secara sukarela,
tidak dibatasi banyak atau jumlahnya. Pengantarannya kepada Sultan Banjar pun
menyesuaikan musim (angin) dimana ketika pengantar upeti mampu berlayar ke
Banjar maka itulah upeti dipersembahkan. (Barjie, 2016: 75-134). Berdasarkan informasi sejarah dari Pemerintah
Katingan, menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah
terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya sebagai kepala
daerah Mendawai, Kiai Ingabehi
Suradiraja adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil
membunuh dua orang pengikut Gusti Kasim dari daerah Nagara tahun
1780, kemudian ia dilantik sebagai pembantu utama syahbandar di pelabuhan Tatas (Banjarmasin).
Transisi
kepemimpinan selanjutnya terhadap daerah Mendawai dan Katingan, kini dipegang
oleh pemerintahan Hindia Belanda. Terdapat dua tahapan penyerahan daerah-daerah
di Kalimantan Tengah termasuk Mendawai dan Katingan dari Sultan Banjar kepada
Pemerintah Hindia Belanda. Tahapan pertama, menurut dokumen “Surat-surat
Perdjanjian Antara Kesultanan Bandjarmasin dengan Pemerintahan V.O.C : Bataafse
Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635 -1860” pada Traktat yang disepakati 13
Agustus 1787, yang terdiri atas 36 pasal kedudukan Kesultanan Banjar sebagai
kerajaan pinjaman lebih diperinci lagi, sehingga wilayah Kesultanan Banjar tidak
sebesar wilayah sebelumnya. Sultan Tahmidullah II dari
Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, termasuk wilayah
Katingan, Mendawai dan Kotawaringin kepada VOC Belanda, dimana pada akhirnya
berkembang menjadi sebuah Distrik dengan Kepala Distriknya adalah Demang Anggen
yang dilantik oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 10 Januari
1896. Secara resmi daerah daerah Katingan tersebut diduduki
Belanda sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. (Sahriansah,2016:13) ........ Bersambung ke Bagian 2 .....
Kraton Kotawaringin Tempat Tinggal Raja Penguasa Pegatan-Mendawai pada tahun 1928 |
BERSAMBUNG ................ (BAGIAN 2)
mantaap pegatan ...
BalasHapusDi tunggu bang bagian 2 nya. Hehehe
BalasHapus