Selasa, 24 Januari 2017

Sejarah Pegatan Katingan Kuala : Kajian Historis dan Dinamika Transisi Kepemimpinan Mendawai, Kotim, dan Katingan (Bagian 2)




Sejarah Pegatan Katingan Kuala : Kajian Historis dan Dinamika Transisi Kepemimpinan Mendawai, Kotim, dan Katingan (Bagian 2)



Ditulis Oleh : M Najeri Al Syahrin., S.IP., M.A. 

Potret Jamah Haji dari Pegatan (H. Adan) Tahun 1970 



C. Pegatan–Mendawai Dalam Masa Kepemimpinan Pemerintahan Hindia Belanda

Dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC tersebut, berakibat nyaris seluruh daerah Kalimantan Tengah dikuasai VOC. Pusat kekuasaan politik dan pemerintahan daerah Kalimantan Tengah kini yang meliputi Pegatan, Mendawai, Katingan, Pembuang, Kotawaringin dan daerah-daerah lain dikendalikan oleh administrasi pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Banjarmasin pada abad ke-19. Daerah-daerah tersebut terdiri dari satu Afdeeling yang disebut Afdeeling Kapuas-Barito dan satu daerah Swapraja yaitu Kesultanan Kotawaringin. Afdeeling Kapuas Barito di sebut juga Afdeeling Dayak Besar, ada 6 Onderafdeeling yang masing-masing dikepalai oleh seorang Kontrolir. Sedangkan pembagian atas wilayah yang lebih kecil berpedoman pada pola aliran sungai yang mengalir di Kalimantan Tengah. Pada dasarnya, setiap aliran sungai merupakan satu kesatuan kelompok yang masing-masing mempunyai kebanggan terhadap aliran sungainya, sehingga ada kecendrungan untuk memperkenalkan nama sungainya, kemudian terjadilah penyebutan sebuah kelompok berdasarkan nama sungai seperti orang Kahayan, orang Mentaya, orang Kapuas, orang Barito, orang Katingan dan orang Mendawai. (Barjie, 2016: 46)

            Tahapan yang kedua terjadi pada 4 Mei 1826, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, maka saat itu Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dan  kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar. Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826, Sultan Adam menyerahkan landschap Mendawai (Katingan) kepada Pemerintahan Hindia Belanda. Penyerahan tersebut merupakan salah satu implikasi dari perjanjian Kesultanan Banjar dengan Belanda. Dalam perjanjian tersebut, Kesultanan Banjar mengakui Suzerinitas (Pertuanan) Pemerintahan Hindia Belanda. Isi perjanjian tersebut salah satunya adalah menyerahkan daerah Sampit, Samoeda, Pembuang dan Tanah Mendawai kepada Belanda. (Sahriansah,2016:20)


 Rumah Asli Masyarakat Samuda, Sampit rivier, Borneo tahun 1915 

 Seperti dikutip dari tulisan J. Pijnappel Gzn (1860) yang berjudul “Beschrijving van het Westelijke gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo” Pemerintahan Hindia Belanda kemudian mengangkat Djuragan yaitu, perwakilan Hindia Belanda yang mengatur masalah pemerintahan, perdagangan dan penarikan upeti dari penduduk dan di wilayah Sampit, Kotawaringin, Katingan, dan Mendawai. Penguasa Mendawai dan Katingan selanjutnya adalah Djoeragan Kassim yang berkuasa pada tahun 1846, dilanjutkan oleh Djuragan Abdolgani pada tahun 1848, Djoeragan Djenoe dan Jaksa kiai Pangoeloe Sitia Maharaja pada tahun 1850 dan 1851, Selanjutnya Kiai Toeainkoe ​​Gembok memerintah pada tahun 1859 dan Demang Anoem Tjakra Dalam atau dikenal sebagai Demang Anggen, dilantik oleh Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 10 Januari 1895. Setelah semakin pesatnya perkembangan perdagangan, pemerintah Hindia Belanda kemudian merencanakan akan membuat pusat pemerintahan perwakilan pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Kerajaan Kotawaringin, Sampit, Pembuang, dan Mendawai. Atas pertimbangan geografis maka Sampit dipilih karena terletak di tengah-tengah dari keempat daerah tersebut. Pada saat itu sudah terjalin hubungan perdagangan yang erat dengan Banjarmasin, Pulau Jawa, Sumatera, Singapura, Cina, Madura, Makasar dan Eropa. Kotawaringin merupakan sebuah wilayah yang pada saat itu memiliki kekayaan alam yang melimpah. Di daerah ini terdapat tempat-tempat penting yang dahulu merupakan daerah penghasil produk ekspor seperti rotan, tengkawang, damar, gaharu dan lainnya. Selain hasil hutan, kerajaan juga memiliki daerah-daerah yang kaya dengan bahan mineral, misalnya emas dan bijih besi (Fadilah, 1996)

Kerajaan Kotawaringin yang menguasai wilayah Pegatan, Mendawai dan Katingan
saat Pemerintahan Pangeran Kasuma Anom Alamsyah (1939-1948) 


 Pada tahun 1898, Pemerintah Belanda mengeluarkan Staatblad tahun 1898 No. 178 yang mengatur pembentukan Afdeeling Sampit, istilah Afdeeling ini mengacu kepada pembentukan sistem kendali pemerintahan setingkat kabupaten. Afdeeling sampit pada waktu itu terbagi kedalam beberapa distrik, yaitu: distrik Sampit dengan Onderdistrik Tjampaga Mantaja Kwayan, Distrik Pembuang dengan Onderdistrik Sembulu dan Seruyan, Kerajaan Kotawaringin (leenplichtig) landschap Koemai dan landschap Djelei dan Distrik Mendawai dengan Onderdistrik Katingan Atas dan Samba (mencakup seluruh daerah aliran sungai Katingan). Pada tahun 1913, Afdeeling Sampit kemudian dipecah menjadi dua. Pertama menjadi Onderafdeeling Kotawaringin di Pangkalan Bun termasuk didalamnya wilayah Pembuang, Sembulu, Seruyan, Kotawaringin, Koemai dan Djelai. Kedua, menjadi Onderafdeeling Sampit yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan Afdeeling Dajaklanden di Banjarmasin. Mendawai-Pegatan dan Katingan masuk kedalam Onderafdeeling Sampit, sehingga kemudian dalam sejarahnya, kecamatan Katingan Kuala dan Kecamatan Mendawai menjadi bagian dalam Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) sebelum bergabung menjadi Kabupaten Katingan.
 Menurut De Gids (1901) dalam bukunya yang berjudul “ Vijf En Jestigstee Jaargang” pada tahun 1900an ahli geologi dan professor Gaf Molengraaff dari Universitas Amsterdam melakukan ekspedisi yang dinamakan Borneo Ekspedisi. Ekspedisi tersebut dilakukan didaerah Kalimantan Tengah, salah satunya di Katingan. Ekspedisi yang dilakukan setelah menuruni daerah kawasan Bukit Raya, Professor Gaf Molenggraff melakukan perjalanan menyusuri sungai Katingan, dalam tulisannya dia menyatakan bahwa ia menyeberangi titik terendah dari daerah aliran sungai dan mencapai cekungan Katingan dan daerah Samba. Kemudian, dia melanjutkan perjalanan menyusuri daerah sungai sampai ke selatan dan akhirnya berada di sebuah desa di muara Katingan. Mungkin yang dimaksud adalah Pegatan, karena tujuan akhirnya adalah Banjarmasin.

Tulisan De Gids Yang Berjudul “Vijf En Jestigstee Jaargang” Menceritakan Tentang
Borneo Ekspedisi yang melintasi Pegatan pada tahun 1901.  

Berdasarkan informasi dari Bappeda Katingan (2007) tentang sejarah pembentukan Kabupaten Katingan, pada tahun 1930, Onderafdeeling Sampit dimekarkan menjadi pemerintah Onderdistrictshoofd Kasongan yang terdiri dari 2 Onderdistrictshoofd. Onderdistrictshoofd Pegatan di Pegatan dan Onderdistrictshoofd Kasongan di Kasongan. Kemudian Onderdistrictshoofd  tersebut mengalami pemekaran kembali sejak tahun 1944, menjadi 4 (empat) bagian Onderdistrictshoofd, yang terdiri dari : 

1. Onderdistrictshoofd Pegatan di Pegatan termasuk Mendawai.
2. Onderdistrictshoofd Katingan Hilir di Kasongan
3. Onderdistrictshoofd Tumbang Samba di Tumbang Samba
4.  Onderdistrictshoofd Tumbang Sanamang di Tumbang Sanamang

Sejak Indonesia Merdeka, pada tahun 1946, Pemerintahan Onderdistrictshoofd diubah namanya menjadi Kecamatan, 4 Onderdistrictshoofd diatas kemudian berubah menjadi Kecamatan Katingan Kuala, Kecamatan Katingan Hilir, Kecamatan Katingan Tengah, dan Kecamatan Katingan Hulu. Kala itu, wilayah Mendawai-Pegatan termasuk propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan (sebelum terbentuknya propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah tahun 1957) dan berada dalam wilayah Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur sebelum dimekarkan menjadi Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat dan kemudian kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Katingan tahun 2001 dan Mendawai-Pegatan termasuk wilayah didalamnya.


Suasana Sungai Katingan Pada Tahun 1924 


D. Pegatan dan Mendawai Dalam Masa Kepemimpinan Kabupaten Kotim dan Kabupaten Katingan


Hingga akhir 1949, Gubernur Kalimantan, Dr. Murdjani datang ke daerah Kotawaringin didampingi Mayor Tjilik Riwut dan lain-lain. Akhirnya, pada 1 Mei 1950, wilayah Kotawaringin dan Mendawai-Pegatan telah diterima ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai daerah Swapraja Kotawaringin. Selanjutnya, pada 16 April 1950, beberapa pemuka Daerah Istimewa Swapraja Kotawaringin mengadakan rapat umum dan mengeluarkan mosi bahwa daerah istimewa tersebut masih tertekan. Karenanya, mereka meminta kepada Gubernur Kalimantan untuk menghapuskan Swapraja Kotawaringin dan mengubahnya menjadi daerah biasa supaya sama majunya dengan daerah Sampit. Merespon tuntutan itu, pada 3 Agustus 1950, Gubernur Kalimantan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154/OPB/92/04 yang menyatakan bahwa Daerah Kotawaringin (Onderafdelling Kotawaringin) disatukan dengan tiga kewedanan (Sampit Barat, Sampit Timur dan Sampit Utara) ke dalam wilayah Pemerintah daerah Otonom Kotawaringin dengan ibukotanya di Sampit. Kewedanaan Sampit Timur, meliputi wilayah kerjanya yang terdiri dari 3 (tiga) kecamatan yaitu kecamatan Katingan Kuala di Pagatan, Kecamatan Tasik Payawan di petak Bahandang, dan Kecamatan Katingan Hilir di Kasongan. (Tjilik Riwut,2007:189)

Sekitar bulan Februari 1965 tejadi pemekaran Kecamatan Katingan Kuala menjadi Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan dan Kecamatan Kamipang di Baun Bango. Jadi, sampai tahun 1965, Kecamatan Katingan Kuala membentang luas dari Pegatan sampai ke Baun Bango, yang kini wilayahnya meliputi 3 Kecamatan, Katingan Kuala, Mendawai dan Kamipang. Kemudian pada tahun 1996, Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 42 tahun 1996 Kecamatan Katingan Kuala dimekarkan menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu: Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan dan Kecamatan Mendawai di Mendawai. Berdasarkan PP 42 tahun 1996 (42/1996) yang ditandatangani pada tanggal 24 Juni 1996 kemudian dilaksanakan pembentukan Kecamatan Mendawai, yang secara administratif terpisah dengan kecamatan Katingan Kuala. Kecamatan Mendawai terdiri dari Mendawai, Teluk Sebulu, Kampung Melayu, Desa Tewang Kampung, Desa Perigi dan Desa Tumbang Bulan.


Sawmil Bruynzel di Sampit yang mempunyai Cabang Sawmill di daerah Pegatan-Mendawai Tahun 1949



Pertimbangan pemekaran kecamatan tersebut adalah karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan volume kegiatan pemerintahan dan pembangunan di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur sehingga untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas pelayanan di bidang pemerintahan dan pembangunan serta untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, dipandang perlu membentuk Kecamatan baru di wilayah tersebut. Sejak tahun 1990an akhir muncullah berbagai aspirasi dan desakan dari berbagai unsur masyarakat untuk memperjuangkan pembentukan Kabupaten Katingan, sehingga dibentuklah Badan Persiapan Pembentukan Kabupaten (BPPK) Katingan yang berkedudukan di Kasongan. Keinginan pembentukan Kabupaten Katingan yang tumbuh dari masyarakat tersebut mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Kotim dan disetujui oleh DPRD Kotim. Atas desakan dan tuntutan semua unsur masyarakat dan dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah setempat. Pelaksanaan UU nomor : 5 tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Katingan di Propinsi Kalimantan Tengah, ditandai dengan peresmian Kabupaten Katingan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2002. Pada tanggal 20 Juli 2002 acara peletakan dan penyerahan batu prasasti sekaligus upacara syukuran rakyat atas terbentuknya Kabupaten Katingan yang dilaksanakan di Kasongan.


Peta Kabupaten Katingan dengan Pegatan dan Mendawai sebagai pintu gerbangnya. 




E. Penutup

Dinamika dan transisi kepemimpinan antara Mendawai, Kotim dan Katingan terjadi melalui serangkaian proses yang memerlukan waktu dan membawa konsekuensi terhadap pertumbuhan budaya Banjar yang kuat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat diwilayah Pegatan Katingan Kuala. Hal ini dikarenakan, sejak berdirinya Pegatan sudah berada di bawah kesultanan Banjar dan Kesultanan Kotawaringin yang sangat erat memiliki cara hidup dengan kebudayaan Banjar, meskipun kini Pegatan sudah masuk ke dalam Kabupaten Katingan yang mayoritas penduduknya merupakan etnis Dayak, tetapi cara hidup dan pola pikir masyarakatnya masih sangat kuat dipengaruhi oleh kebudayaan Banjar. Karena, pada waktu zaman dahulu, Kesultanan Banjar yang kemudian dilanjutkan dengan Kesultanan Kotawaringin memiliki masa kepemimpinan yang sangat lama terhadap wilayah Pegatan dan Mendawai. Peralihan transisi kepemimpinan tersebut dimulai sejak zaman kerajaan Mendawai masih dibawah kekuasaan kesultanan Banjar saat Sultan Mustain Billah atau lebih dikenal sebagai Sultan Hidayatullah 1 yang berkuasa sejak tahun 1595. Kemudiaan wilayah Mendawai-Pegatan setelahnya diserahkan kepada kesultanan Kotawaringin pertama yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma yang memerintah sejak tahun 1965.

  Saat kesultanan Kotawaringin dikuasi oleh Hindia Belanda sejak Traktat disepakati pada 13 Agustus 1787, peralihan kekuasaa di daerah Mendawai-Pegatan dan Katingan lebih banyak di pengaruhi oleh kebijakan Hindia Belanda, yang berpusat di Banjarmasin pada abad ke-19 sampai dengan awal pendudukan Jepang sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah kemerdekaan, Pegatan berada dibawah kepemimpinan Kotawaringin Timur yang beribukota di Sampit, sebelum akhirnya dimekarkan kembali dan kini bergabung dalam kepemimpinan Kabupaten Katingan. Dalam historiografi Indonesia, nama Kotawaringin dan Mendawai sangat kurang dikenal. meskipun secara silsilah Raja Kotawaringin disebut sebagai penerus dinasti Kesultanan Banjar, sejarahnya dan pengaruhnya tidak pernah diungkapkan secara persis. Tidaklah mengherankan kemudian apabila orang menganggap Kotawaringin dan Mendawai kurang memainkan peran penting dalam sejarah Kalimantan, karena selalu berada dibawah bayang-bayang kesultanan Banjar. Kesultanan Kotawaringin dan kerajaan Mendawai, dikenal sebagai sebuah kerajaan minor yang wacana historisnya masih diselimuti mitos dan legenda.




Kapal Belimbing Kepunyaan H Bagian berlayar di depan Pasar Pegatan Tahun 1970

  

Daftar Pustaka :
  • ·  A. Barjie. 2013. Kerajaan Banjar dalam Bingkai Nusantara. Banjarmasin: Rahmat Hafiz Mubarak
  • ·  A. Barjie, 2016. Kesultanan Banjar: Bangkit dan Mengabdi, Banjarmasin: Pustaka Banua.
  • ·    Carl Lumholtz, 1917. Through Central Borneo; an account of two years' travel in the land of the head-hunters between the years 1913 and 1917. Cambridge: Cambridge Library Collection.
  • ·     Cense,  A.A..  1928. De Kroniek van Bandjarmasin, Leiden: Santpoort.
  • ·     Chijs, Van der. 1891. Dagh-Register Anno 1640-41, Batavia; Dijk,
  • ·     De Gids, 1901. Vijf En Jestigstee Jaargang. Amsterdam.
  • ·     Hermanu. 2014. Borneo 1843. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • ·     J. Pijnappel Gzn 1860. Beschrijving van het Westelijke gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo. Amsterdam.
  • ·     J. T Lindblad. 2012. Antara Dayak dan Belanda: Sejarah Ekonomi Kaltim dan Kalsel 1880-1942. Jakarta: Lilin Persada.
  • ·    L.C.D. van. 1862.  Nederlandsch vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam- en Cochin-Chine, Amsterdam.
  • ·   Norpikriadi. 2015. Sejarah, Etnisitas, dan Kebudayaan Banjar. Yogyakarta: Ombak.
  • ·     Victor T. King. 2013. Kalimantan Tempoe Doloe. Depok: Komunitas Bambu
  • ·   Sahriansyah. 2016. Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
  • ·   Suwondo. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • ·  Tjilik Riwut. 2007. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, Yogyakarta: Galang Press.
  • ·   O. Keat Gin. 2011. The Japanese Occupation of Borneo, 1941-1945. London: Routledege.
  • ·     Bappeda Kabupaten Katingan. 2007. "Lima Tahun Kabupaten Katingan"
  • ·     Sejarah Katingan oleh Pemerintah Kabupaten Katingan
  • ·     Sejarah Sampit oleh Pemerintahan Kabupaten Kotawaringin Timur.

Minggu, 22 Januari 2017

Sejarah Pegatan Katingan Kuala : Kajian Historis dan Dinamika Transisi Kepemimpinan Mendawai, Kotim, dan Katingan (Bagian 1)


Sejarah Pegatan Katingan Kuala : Kajian Historis dan Dinamika Transisi Kepemimpinan Mendawai, Kotim, dan Katingan (Bagian 1)

Ditulis Oleh : M Najeri Al Syahrin., S.IP., M.A.



Rakit kayu di Sungai Katingan (Dekat dari Pegatan) dari Perusahaan Kayu Bruynzeel Sampit Tahun 1949


     Dalam perjalanannya, sebagai suatu daerah wilayah permukiman penduduk, Pegatan tidak bisa dipisahkan dalam hubungannya dengan Mendawai, yaitu sejak masa Kerajaan Mendawai sampai dengan kekuasaan Kerajaan Kotawaringin (Kutaringin). Pusat Kerajaan Kotawaringin tersebut berada di daerah Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat saat ini sampai dengan akhir masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Kemudian, setelah itu wilayah Pegatan masuk kedalam daerah Kabupaten Kotawaringin Timur yang beribukota di Sampit, sebelum kemudian di mekarkan kembali menjadi salah satu daerah yang masuk dalam pemerintahan Kabupaten Katingan.

Pada zaman dahulu, Pegatan-Mendawai merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam kekuasaan Kerajaan Mendawai, sampai saat ini sebutan Pegatan-Mendawai masih melekat, utamanya untuk membedakan dengan daerah Pagatan di Kota Baru Kal-Sel. Kekuasaan kerajan Mendawai dahulu diceritakan meliputi daerah muara sungai Katingan termasuk daerah Pegatan dan sekitarnya. Kurangnya referensi dan sumber sejarah tentang kerajaan Mendawai sangat menyulitkan penulis untuk memberikan gambaran mengenai seberapa besar dan kuatnya pengaruh kerajaan Mendawai terhadap Pegatan dan daerah-daerah lain khususnya di Katingan. Ada beberapa jurnal berbahasa Belanda yang menurut penulis mungkin bisa memberikan gambaran tentang Kerajaan Mendawai atau setidaknya kondisi desa Mendawai sejak tahun 1878, 1908, dan tahun 1950-1957. Jurnal pertama di tulis pada tahun 1878 yang berjudul "Mendawai-Rivier Van De Mond Tot Loeboe” (Ekspedisi menggunakan kapal Oenarang). Kemudian tulisan Survey Vessel pada tahun 1908 yang berjudul “Zuidkust Borneo, Mendawai-Rivier En Mond Der Pemboeang-Rivier” yang kemudian dipublikasikan oleh Department of The Navy Hydrographic Den Hag pada tahun 1908. Kemudian tulisan “Mendawai-Rivier” oleh Kooimans dan Gezagh de Groot yang pada waktu itu melakukan ekspedisi menggunakan kapal Burdjamhal dan Zuirderkruis pada tahun 1957 dan 1950. Ketika penulis mencoba mencari dan mengakses file dokumen sejarah tersebut, ternyata hanya bisa diakses dengan membeli username dari situs  ArchivePortalEurope.Net. 

Demang Anoem Tjakra adalah Penguasa Mendawai Pada Masa Lampau. 



A. Pegatan-Mendawai Dalam Masa Kepemimpinan Kesultanan Banjar

 Sebelum abad 14, daerah aliran sungai Katingan termasuk daerah yang masih belum terjamah, belum banyak pendatang dari daerah lain. Saat itu, satu-satunya alat transportasi adalah perahu, dan setiap suku yang ada dipimpin oleh Kepala Suku/Bakas Lewu. Mendawai merupakan salah satu lewu (kampung) tertua di daerah aliran sungai Katingan. Tahun 1350, kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin dan Mendawai, kemudian tahun 1365 kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin dam Katingan (Tjilik Riwut, 2007:107)

Dokumen tertua yang menyebutkan "Sampit dan Katingan adalah buku kakawin Negarakertagama karangan Mpu Prapanca tahun 1365, pada syair ke-13 yang berbunyi:
“Le tekang nusa Tanjungnagara ri Kapuas lawan ri Katingan-Sampit mwang Kuta Lingga mwang i Kuta Wawaringin Sambas mwang i Lawas”.
Pada masa Kerajaan Majapahit tersebut, Sampit dan Katingan (Mendawai-Pegatan) disebutkan termasuk sebagai salah satu daerah teritorial "Nusantara”. Daerah ini menikmati otonomi dan kebebasan internal  serta Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan pejabat birokratnya atau tentara militernya di wilayah tersebut. Kerajaan Mendawai yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diberikan kekuasaan otonomi untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus merasa dibawah bayang-bayang Majapahit. Kerajaan Majapahit hanya menuntut loyalitas berupa upeti tahunan dengan persyaratan tidak memberontak dengan maksud akan memisahkan diri. Itulah mengapa, kerajaan Mendawai dan kerajaan Banjar pada umumnya tidak merefleksikan kebudayaan Jawa secara utuh dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Di masa kekuasaan kerajaan Hindu, upeti dibayarkan kepada Majapahit, maka kemudian di masa kerajaan Islam berkuasa upeti dibayarkan kepada kerajaan Demak, tetapi hal itu tidak berarti kerajaan Banjar dan Mendawai menjadi bawahan Demak. Hanya ada semacam aliansi, dimana kerajaan Banjar dan seluruh wilayahnya berada dalam naungan Kerajaan Demak. (Barjie. 2014:43)

Kraton Kesultanan Banjar Yang Pada Masa Lampau Menguasai Wilayah Pegatan-Mendawai dan Katingan 

 Menurut salah satu sumber di Wikipedia, Mendawai merupakan salah satu pelabuhan Kesultanan Banjar, nama tersebut sudah ada dan disebut di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663. Di dalam Hikayat Banjar disebutkan Pangeran Martasari putera Pangeran Mangkunagara sempat maadam (merantau)  ke kampung Mendawai dan berencana meminta bantuan kepada Kesultanan Mataram untuk mengkudeta Sultan Saidullah, tetapi rencana itu gagal karena ia akhirnya sumalah (mangkat) di Mendawai, kemudian jenazahnya dibawa ke Martapura dan dimakamkan di istana. Pangeran Mangkunagara merupakan putera gahara dari Putri Nur Alam binti Pangeran Di Laut, permaisuri Sultan Hidayatullah I, tetapi gagal menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I, karena yang dinobatkan adalah Pangeran Senapati/Marhum Panembahan/Sultan Inayatullah. 

Potret Kehidupan Pasar dan Masyakarakat Banjar pada Masa Silam 


 Dalam Hikayat Banjar juga di jelaskan bahwa Mendawai memang berada di bawah kesultanan Banjar sejak abad ke-14. Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit yang memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayahnya yang terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Pembuang Sebangau, Mendawai, Katingan, dan Sampit yang mana masing-masing kepala daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai (Slamet Mulya, 2003). Selain itu, dari sumber sejarah yang lain disebutkan juga bahwa Katingan sudah termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Banjar-Hindu (Negara Dipa) sejak Lambung Mangkurat berkuasa dimana kala itu terdiri dari 2 sakai (daerah) yaitu Mendawai (di bagian hilir) dan Katingan (di bagian hulu).  


Sampit tahun 1939, Terlihat Masjid dan Koran School. Waktu itu Sampit, Menjadi Bagian dari Kesultanan Banjar. 


           Wilayah kesultanan Banjar Raya adalah sebutan bagi negeri-negeri yang menjadi wilayah pengaruh mandala kesultanan Banjar, khususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad-abad sebelumnya, dinyatakan klaim kekuasaan Banjar atas daerah-daerah ini dimulai sejak tahun 1636 (Kartodirdjo,1993:121). Dalam perjalanan sejarah, ketetapan wilayah kesultanan Banjar tidak dapat dilihat jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel, hal ini disebabkan oleh perkembangan kesultanan Banjar yang naik turun akibat pengaruh konflik saudara dan campur tangan Belanda. (Sahriansah,2016:10)


Orang-Orang Dayak (Barito-Kahayan-Katingan) Sedang Menuju Banjarmasin untuk Berdagang.  



B. Pegatan–Mendawai Dalam Masa Kepemimpinan Kesultanan Kotawaringin
             
          Hikayat Banjar memberikan penjelasan bahwa Mendawai dan Katingan termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar di bawah kekuasaan Sultan ke-4 yaitu, Sultan Mustain Billah (Marhum Penembahan). Tahun 1615, kesultanan Banjar merealisasikan berdirinya kerajaan Kotawaringin (Kutaringin). Kemudian wilayah Mendawai-Katingan merupakan salah satu daerah kekuasaan Sultan Mustain Billah diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma yang kemudian menjadi adipati/raja Kotawaringin menggantikan mertuanya Dipati Ngganding yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah: Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. (Barjie, 2016:133)

Bagi kesultanan Kotawatingin saat itu, istilah Sultan hanya diigunakan dalam birokrasi internal dan dalam hubungan dengan dunia luar selain dengan kesultanan Banjar. Sementara itu, ketika berhubungan dengan kesultanan Banjar, semua Sultan Kotawaringin menyebut dirinya sebagai Pangeran (Raja Muda), hal ini karena mereka mengganggap para Sultan Banjar sebagi saudara tua. Dalam buku“Sejarah Singkat Kesultanan Kotawaringin dan Silsilah Raja-Raja Kotawaringin” diceritakan bahwa Sultan Banjar Mustain Billah memiliki 2 orang putera, yaitu pangeran Adipati Antakusuma yang bergelar Pangeran Bengawan dan Pangeran Adipati Tuha yang bergelar Pangeran Inayatullah. Pada tahun 1678, Sultan Mustain Billah meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya, Pangeran Inayatullah hingga tahun 1685. Ketika sultan Mustain Billah masih memerintah, beliau mengutus anaknya ke daerah Kotawaringin untuk membangun Kerajaan disana. (Hermanu. 2014:27)

Kerajaan Kotawaringin saat Penobatan Pangeran Kasuma Anom Alamsyah (1939-1948)


Setelah Pangeran Inayatullah menjadi Sultan Banjar yang ke-5, maka Pangeran Adipati Antakusuma secara sukarela meninggalkan istana dan melakukan perjalanan ke arah barat kesultanan Banjar. Tujuannya adalah mencari daerah kekuasaan baru sebagai perpanjangan dari kesultanan Banjar di Banjarmasin. Pangeran Adipati Antakusuma kemudian melakukan perjalanan laut dari Sungai Barito menyisiri tepian pulau Kalimantan ke arah Barat. Dalam perjalanannya Pangeran sempat berhenti dibeberapa tempat, salah satunya di Sebangau. Dalam beberapa tulisan lain, Sebangau sering disebut sebagai suatu nama daerah dan sering menjadi tempat transit bagi yang ingin melakukan perjalanan melintasi Tanjung Malatayoer (Tanjung Matayur). Penulis menduga pada masa silam, di Sebangau juga ada kerajaan kecil, meskipun kini bukti sejarahnya sangat sulit untuk di temukan. Perjalanan Pangeran Adipati Antakusuma setelah dari Sebangau kemudian dilanjutkan ke Mendawai, Sampit, dan Pembuang. Melihat rute perjalanan yang dilakukan, Pangeran melakukan perjalanan dengan memasuki daerah aliran sungai Mentaya, Pembuang, Sebangau, dan Katingan melewati Pegatan. (Barjie,2016: 133).


Peta Tanjung Malatayur Pegatan oleh Belanda Pada Tahun 1930  

Pada akhirnya, rombongan tiba di Rantau Pulut, bagian hulu sungai Seruyan. Atas kesepakatan berbagai pihak, diangkatlah pangeran Adipati Antakusuma bin Sultan Mustain Billah sebagi Sultan pertama Kotawaringin dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin dan memimpin mulai tahun 1615-1630 M. Menurut M Ali Fadillah, Kotawaringin Lama adalah bekas ibukota pertama Kerajaan Kotawaringin. Keyakinan ini didasarkan pada bukti penemuan   bukti-bukti arkeologis deposit pecahan keramik impor terutama berasal dari Cina, Thailand, dan Vietnam. Serta ditemukan pula ratusan fragmen wadah tembikar dari berbagai bentuk. menunjukkan kekunaan dan sekaligus kompleksitas ibukota, yang antara lain diindikasikan oleh konsentrasi sisa bangunan kuna seperti “keratin”, masjid typique, makam-makam raja, serta struktur lainnya yang menunjukkan kurun waktu tertua dari abad XIV sampai abad XVII. Dengan demikian, baik peninggalan yang bersifat monumental maupun artefaktual, keseluruhannya telah menjadi bukti bahwa sejak abad XVII di Kotawaringin pernah berkembang sebuah masyarakat yang telah teroganisir baik dalam domain sosial politik, ekonomi maupun budaya.

Masjid Kerajaan Kotawaringin yang di bangun oleh Kyai Gede. 

Pada saat kesultanan Kotawaringin berkuasa saat itu, masyarakatnya dan wilayah wilayah kekuasaan disekitarnya (Mendawai) tidak perlu membayar upeti kepada kesultanan Banjar, tapi memberikannnya kepada sultan Kotawaringin. Disini terjadi transisi penting bahwa kerajaan Mendawai saat itu secara kekuasaan sudah tidak lagi berinduk kepada kesultanan Banjar di Banjarmasin tetapi kepada kesultanan Kotawaringin, hal ini  juga secara langsung berakibat kepada penyerahan upeti, yang sebelumnya diberikan kepada kesultanan Banjar kini beralih kewajiban penghantarannya kepada Sultan Kotawaringin. Meskipun pada saat itu Sultan Banjar sering membebaskan upeti kepada daerah-daerah tertentu. Selain itu, banyak juga wilayah kekuasaan lain yang membayar upeti kepada kesultanan Banjar secara sukarela, tidak dibatasi banyak atau jumlahnya. Pengantarannya kepada Sultan Banjar pun menyesuaikan musim (angin) dimana ketika pengantar upeti mampu berlayar ke Banjar maka itulah upeti dipersembahkan. (Barjie, 2016: 75-134). Berdasarkan informasi sejarah dari Pemerintah Katingan, menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya sebagai kepala daerah Mendawai,  Kiai Ingabehi Suradiraja adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil membunuh dua orang pengikut Gusti Kasim dari daerah Nagara tahun 1780, kemudian ia dilantik sebagai pembantu utama syahbandar di pelabuhan Tatas (Banjarmasin).

Transisi kepemimpinan selanjutnya terhadap daerah Mendawai dan Katingan, kini dipegang oleh pemerintahan Hindia Belanda. Terdapat dua tahapan penyerahan daerah-daerah di Kalimantan Tengah termasuk Mendawai dan Katingan dari Sultan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Tahapan pertama, menurut dokumen “Surat-surat Perdjanjian Antara Kesultanan Bandjarmasin dengan Pemerintahan V.O.C : Bataafse Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635 -1860” pada Traktat yang disepakati 13 Agustus 1787, yang terdiri atas 36 pasal kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman lebih diperinci lagi, sehingga wilayah Kesultanan Banjar tidak sebesar wilayah sebelumnya. Sultan Tahmidullah II dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, termasuk wilayah Katingan, Mendawai dan Kotawaringin kepada VOC Belanda, dimana pada akhirnya berkembang menjadi sebuah Distrik dengan Kepala Distriknya adalah Demang Anggen yang dilantik oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 10 Januari 1896. Secara resmi daerah daerah Katingan tersebut diduduki Belanda sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. (Sahriansah,2016:13)   ........ Bersambung ke Bagian 2 ..... 

Kraton Kotawaringin Tempat Tinggal Raja Penguasa Pegatan-Mendawai pada tahun 1928 


BERSAMBUNG ................ (BAGIAN 2)