Sejarah Pegatan Katingan Kuala :
Kajian Historis dan Dinamika Transisi Kepemimpinan Mendawai, Kotim, dan
Katingan (Bagian 2)
Ditulis
Oleh : M Najeri Al Syahrin., S.IP., M.A.
Potret Jamah Haji dari Pegatan (H. Adan) Tahun 1970 |
C. Pegatan–Mendawai
Dalam Masa Kepemimpinan Pemerintahan Hindia Belanda
Dengan
adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC tersebut, berakibat nyaris
seluruh daerah Kalimantan Tengah dikuasai VOC. Pusat kekuasaan politik dan pemerintahan daerah Kalimantan Tengah kini
yang meliputi Pegatan, Mendawai, Katingan, Pembuang, Kotawaringin dan
daerah-daerah lain dikendalikan oleh administrasi pemerintah Hindia Belanda
yang berpusat di Banjarmasin pada abad ke-19. Daerah-daerah tersebut terdiri
dari satu Afdeeling yang disebut Afdeeling Kapuas-Barito dan satu daerah
Swapraja yaitu Kesultanan Kotawaringin. Afdeeling
Kapuas Barito di sebut juga Afdeeling Dayak
Besar, ada 6 Onderafdeeling yang masing-masing
dikepalai oleh seorang Kontrolir. Sedangkan
pembagian atas wilayah yang lebih kecil berpedoman pada pola aliran sungai yang
mengalir di Kalimantan Tengah. Pada dasarnya, setiap aliran sungai merupakan
satu kesatuan kelompok yang masing-masing mempunyai kebanggan terhadap aliran
sungainya, sehingga ada kecendrungan untuk memperkenalkan nama sungainya,
kemudian terjadilah penyebutan sebuah kelompok berdasarkan nama sungai seperti
orang Kahayan, orang Mentaya, orang Kapuas, orang Barito, orang Katingan dan orang
Mendawai. (Barjie, 2016: 46)
Tahapan
yang kedua terjadi pada 4 Mei 1826, berdasarkan perjanjian dengan VOC
yang terdahulu, maka saat itu Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan
mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi,
yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dan kemudian menjadikan salah satu penyebab
pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji
Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826, Sultan Adam
menyerahkan landschap Mendawai
(Katingan) kepada Pemerintahan Hindia Belanda. Penyerahan tersebut merupakan
salah satu implikasi dari perjanjian Kesultanan Banjar dengan Belanda. Dalam
perjanjian tersebut, Kesultanan Banjar mengakui Suzerinitas (Pertuanan) Pemerintahan Hindia Belanda. Isi perjanjian
tersebut salah satunya adalah menyerahkan daerah Sampit, Samoeda, Pembuang dan Tanah
Mendawai kepada Belanda. (Sahriansah,2016:20)
Rumah Asli Masyarakat Samuda, Sampit rivier, Borneo tahun 1915 |
Seperti dikutip dari tulisan J. Pijnappel Gzn (1860) yang
berjudul “Beschrijving van het Westelijke
gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo” Pemerintahan Hindia
Belanda kemudian mengangkat Djuragan yaitu, perwakilan Hindia Belanda yang
mengatur masalah pemerintahan, perdagangan dan penarikan upeti dari penduduk
dan di wilayah Sampit, Kotawaringin, Katingan, dan Mendawai. Penguasa
Mendawai dan Katingan selanjutnya adalah Djoeragan Kassim yang berkuasa pada
tahun 1846, dilanjutkan oleh Djuragan Abdolgani pada tahun 1848, Djoeragan
Djenoe dan Jaksa kiai Pangoeloe Sitia Maharaja pada tahun 1850 dan 1851,
Selanjutnya Kiai Toeainkoe Gembok memerintah pada tahun 1859 dan Demang Anoem
Tjakra Dalam atau dikenal sebagai Demang Anggen, dilantik oleh Gubernur Hindia
Belanda pada tanggal 10 Januari 1895. Setelah
semakin pesatnya perkembangan perdagangan, pemerintah Hindia Belanda kemudian merencanakan
akan membuat pusat pemerintahan perwakilan pemerintah Hindia Belanda untuk
wilayah Kerajaan Kotawaringin, Sampit, Pembuang, dan Mendawai. Atas
pertimbangan geografis maka Sampit dipilih karena terletak di tengah-tengah
dari keempat daerah tersebut. Pada saat itu sudah terjalin hubungan perdagangan
yang erat dengan Banjarmasin, Pulau Jawa, Sumatera, Singapura, Cina, Madura,
Makasar dan Eropa. Kotawaringin
merupakan sebuah wilayah yang pada saat itu memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Di daerah ini terdapat tempat-tempat penting yang dahulu merupakan
daerah penghasil produk ekspor seperti rotan, tengkawang, damar, gaharu dan
lainnya. Selain hasil hutan, kerajaan juga memiliki daerah-daerah yang kaya
dengan bahan mineral, misalnya emas dan bijih besi (Fadilah, 1996)
Kerajaan Kotawaringin yang menguasai wilayah Pegatan, Mendawai dan Katingan saat Pemerintahan Pangeran Kasuma Anom Alamsyah (1939-1948) |
Pada tahun 1898, Pemerintah
Belanda mengeluarkan Staatblad tahun
1898 No. 178 yang mengatur pembentukan Afdeeling
Sampit, istilah Afdeeling ini mengacu
kepada pembentukan sistem kendali pemerintahan setingkat kabupaten. Afdeeling sampit pada waktu itu terbagi
kedalam beberapa distrik, yaitu: distrik Sampit dengan Onderdistrik Tjampaga Mantaja Kwayan, Distrik
Pembuang dengan Onderdistrik Sembulu
dan Seruyan, Kerajaan Kotawaringin (leenplichtig) landschap Koemai dan landschap Djelei dan Distrik Mendawai
dengan Onderdistrik Katingan Atas dan
Samba (mencakup seluruh daerah aliran sungai Katingan). Pada tahun 1913, Afdeeling
Sampit kemudian dipecah menjadi dua. Pertama menjadi Onderafdeeling Kotawaringin di Pangkalan Bun termasuk didalamnya
wilayah Pembuang, Sembulu, Seruyan, Kotawaringin, Koemai dan Djelai. Kedua,
menjadi Onderafdeeling Sampit yang masuk
ke dalam wilayah kekuasaan Afdeeling
Dajaklanden di Banjarmasin. Mendawai-Pegatan dan Katingan masuk kedalam Onderafdeeling Sampit, sehingga kemudian
dalam sejarahnya, kecamatan Katingan Kuala dan Kecamatan Mendawai menjadi
bagian dalam Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) sebelum bergabung menjadi
Kabupaten Katingan.
Menurut De
Gids (1901) dalam bukunya yang berjudul “
Vijf En Jestigstee Jaargang” pada tahun 1900an ahli
geologi dan professor Gaf Molengraaff dari Universitas Amsterdam melakukan
ekspedisi yang dinamakan Borneo Ekspedisi. Ekspedisi tersebut dilakukan
didaerah Kalimantan Tengah, salah satunya di Katingan. Ekspedisi yang dilakukan
setelah menuruni daerah kawasan Bukit Raya, Professor Gaf Molenggraff melakukan
perjalanan menyusuri sungai Katingan, dalam tulisannya dia menyatakan bahwa ia
menyeberangi titik terendah dari daerah aliran sungai dan mencapai cekungan
Katingan dan daerah Samba. Kemudian, dia melanjutkan perjalanan menyusuri
daerah sungai sampai ke selatan dan akhirnya berada di sebuah desa di muara
Katingan. Mungkin yang dimaksud adalah Pegatan, karena tujuan akhirnya adalah
Banjarmasin.
Tulisan De Gids Yang Berjudul “Vijf En Jestigstee Jaargang” Menceritakan Tentang Borneo Ekspedisi yang melintasi Pegatan pada tahun 1901. |
Berdasarkan informasi dari Bappeda Katingan (2007)
tentang sejarah pembentukan Kabupaten Katingan, pada tahun 1930, Onderafdeeling Sampit dimekarkan
menjadi pemerintah Onderdistrictshoofd
Kasongan yang terdiri dari 2 Onderdistrictshoofd.
Onderdistrictshoofd Pegatan di
Pegatan dan Onderdistrictshoofd Kasongan
di Kasongan. Kemudian Onderdistrictshoofd tersebut mengalami
pemekaran kembali sejak tahun 1944, menjadi 4 (empat)
bagian Onderdistrictshoofd, yang
terdiri dari :
1. Onderdistrictshoofd Pegatan di
Pegatan termasuk Mendawai.
2. Onderdistrictshoofd
Katingan
Hilir di Kasongan
3. Onderdistrictshoofd Tumbang
Samba di Tumbang Samba
4. Onderdistrictshoofd
Tumbang
Sanamang di Tumbang Sanamang
Sejak Indonesia Merdeka, pada tahun 1946, Pemerintahan Onderdistrictshoofd diubah namanya menjadi Kecamatan, 4 Onderdistrictshoofd
diatas kemudian berubah menjadi Kecamatan
Katingan Kuala, Kecamatan Katingan Hilir, Kecamatan Katingan Tengah, dan
Kecamatan Katingan Hulu. Kala itu, wilayah
Mendawai-Pegatan termasuk propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan (sebelum
terbentuknya propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah tahun 1957) dan berada
dalam wilayah Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur sebelum dimekarkan menjadi Kotawaringin
Timur dan Kotawaringin Barat dan kemudian kembali dimekarkan menjadi Kabupaten
Katingan tahun 2001 dan Mendawai-Pegatan termasuk wilayah didalamnya.
Suasana Sungai Katingan Pada Tahun 1924 |
D. Pegatan dan Mendawai Dalam Masa
Kepemimpinan Kabupaten Kotim dan Kabupaten Katingan
Hingga akhir 1949, Gubernur Kalimantan, Dr.
Murdjani datang ke daerah
Kotawaringin didampingi Mayor Tjilik Riwut dan lain-lain. Akhirnya, pada 1 Mei
1950, wilayah Kotawaringin dan Mendawai-Pegatan telah diterima ke dalam
pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai daerah
Swapraja Kotawaringin. Selanjutnya, pada 16 April 1950, beberapa pemuka Daerah
Istimewa Swapraja Kotawaringin mengadakan rapat umum dan mengeluarkan mosi
bahwa daerah istimewa tersebut masih tertekan. Karenanya, mereka meminta kepada
Gubernur Kalimantan untuk menghapuskan Swapraja Kotawaringin dan mengubahnya
menjadi daerah biasa supaya sama majunya dengan daerah Sampit. Merespon
tuntutan itu, pada 3 Agustus 1950, Gubernur Kalimantan mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 154/OPB/92/04 yang menyatakan bahwa Daerah Kotawaringin (Onderafdelling Kotawaringin) disatukan
dengan tiga kewedanan (Sampit Barat,
Sampit Timur dan Sampit Utara) ke dalam wilayah Pemerintah daerah
Otonom Kotawaringin dengan ibukotanya di Sampit. Kewedanaan Sampit
Timur, meliputi wilayah kerjanya yang terdiri dari 3 (tiga) kecamatan yaitu
kecamatan Katingan Kuala di Pagatan, Kecamatan Tasik Payawan di petak
Bahandang, dan Kecamatan Katingan Hilir di Kasongan. (Tjilik Riwut,2007:189)
Sekitar bulan Februari 1965 tejadi pemekaran Kecamatan Katingan Kuala menjadi
Kecamatan Katingan Kuala di Pagatan dan Kecamatan Kamipang di Baun Bango. Jadi,
sampai tahun 1965, Kecamatan Katingan Kuala membentang luas dari Pegatan sampai
ke Baun Bango, yang kini wilayahnya meliputi 3 Kecamatan, Katingan Kuala,
Mendawai dan Kamipang. Kemudian pada tahun 1996,
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 42 tahun 1996 Kecamatan Katingan
Kuala dimekarkan menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu: Kecamatan Katingan Kuala di
Pagatan dan Kecamatan Mendawai di Mendawai. Berdasarkan
PP 42 tahun 1996 (42/1996) yang ditandatangani pada tanggal 24 Juni 1996
kemudian dilaksanakan pembentukan Kecamatan Mendawai, yang secara administratif
terpisah dengan kecamatan Katingan Kuala. Kecamatan Mendawai terdiri dari
Mendawai, Teluk Sebulu, Kampung Melayu, Desa Tewang Kampung, Desa Perigi dan
Desa Tumbang Bulan.
Sawmil Bruynzel di Sampit yang mempunyai Cabang Sawmill di daerah Pegatan-Mendawai Tahun 1949 |
Pertimbangan
pemekaran kecamatan tersebut adalah karena semakin meningkatnya jumlah penduduk
dan volume kegiatan pemerintahan dan pembangunan di wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat II Kotawaringin Timur sehingga untuk memperlancar pelaksanaan
tugas-tugas pelayanan di bidang pemerintahan dan pembangunan serta untuk
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, dipandang perlu membentuk Kecamatan
baru di wilayah tersebut. Sejak tahun
1990an akhir muncullah berbagai aspirasi dan desakan dari berbagai unsur
masyarakat untuk memperjuangkan pembentukan Kabupaten Katingan, sehingga
dibentuklah Badan Persiapan Pembentukan Kabupaten (BPPK) Katingan yang
berkedudukan di Kasongan. Keinginan pembentukan Kabupaten Katingan yang tumbuh
dari masyarakat tersebut mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Kotim dan
disetujui oleh DPRD Kotim. Atas
desakan dan tuntutan semua unsur masyarakat dan dengan dukungan penuh dari
pemerintah daerah setempat. Pelaksanaan UU nomor : 5 tahun 2002 tentang Pembentukan
Kabupaten Katingan di Propinsi Kalimantan Tengah, ditandai dengan peresmian
Kabupaten Katingan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2002. Pada tanggal 20 Juli
2002 acara peletakan dan penyerahan batu prasasti sekaligus upacara syukuran
rakyat atas terbentuknya Kabupaten Katingan yang dilaksanakan di Kasongan.
Peta Kabupaten Katingan dengan Pegatan dan Mendawai sebagai pintu gerbangnya. |
E. Penutup
Dinamika dan transisi kepemimpinan antara Mendawai, Kotim dan
Katingan terjadi melalui serangkaian proses yang memerlukan waktu dan membawa
konsekuensi terhadap pertumbuhan budaya Banjar yang kuat dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat diwilayah Pegatan Katingan Kuala. Hal ini dikarenakan, sejak berdirinya Pegatan
sudah berada di bawah kesultanan Banjar dan Kesultanan Kotawaringin yang sangat
erat memiliki cara hidup dengan kebudayaan Banjar, meskipun kini Pegatan sudah
masuk ke dalam Kabupaten Katingan yang mayoritas penduduknya merupakan etnis
Dayak, tetapi cara hidup dan pola pikir masyarakatnya masih sangat kuat dipengaruhi
oleh kebudayaan Banjar. Karena, pada waktu zaman dahulu, Kesultanan Banjar yang
kemudian dilanjutkan dengan Kesultanan Kotawaringin memiliki masa kepemimpinan
yang sangat lama terhadap wilayah Pegatan dan Mendawai. Peralihan transisi
kepemimpinan tersebut dimulai sejak zaman kerajaan Mendawai masih dibawah
kekuasaan kesultanan Banjar saat Sultan Mustain Billah atau lebih dikenal
sebagai Sultan Hidayatullah 1 yang berkuasa sejak tahun 1595. Kemudiaan wilayah
Mendawai-Pegatan setelahnya diserahkan kepada kesultanan Kotawaringin pertama
yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma
yang
memerintah sejak tahun 1965.
Saat kesultanan Kotawaringin dikuasi oleh Hindia Belanda sejak Traktat disepakati pada 13 Agustus 1787, peralihan kekuasaa di daerah Mendawai-Pegatan dan Katingan lebih banyak di pengaruhi oleh kebijakan Hindia Belanda, yang berpusat di Banjarmasin pada abad ke-19 sampai dengan awal pendudukan Jepang sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah kemerdekaan, Pegatan berada dibawah kepemimpinan Kotawaringin Timur yang beribukota di Sampit, sebelum akhirnya dimekarkan kembali dan kini bergabung dalam kepemimpinan Kabupaten Katingan. Dalam historiografi Indonesia, nama Kotawaringin dan Mendawai sangat kurang dikenal. meskipun secara silsilah Raja Kotawaringin disebut sebagai penerus dinasti Kesultanan Banjar, sejarahnya dan pengaruhnya tidak pernah diungkapkan secara persis. Tidaklah mengherankan kemudian apabila orang menganggap Kotawaringin dan Mendawai kurang memainkan peran penting dalam sejarah Kalimantan, karena selalu berada dibawah bayang-bayang kesultanan Banjar. Kesultanan Kotawaringin dan kerajaan Mendawai, dikenal sebagai sebuah kerajaan minor yang wacana historisnya masih diselimuti mitos dan legenda.
Kapal Belimbing Kepunyaan H Bagian berlayar di depan Pasar Pegatan Tahun 1970 |
Daftar Pustaka :
- · A. Barjie. 2013. Kerajaan Banjar dalam Bingkai Nusantara. Banjarmasin: Rahmat Hafiz Mubarak
- · A. Barjie, 2016. Kesultanan Banjar: Bangkit dan Mengabdi, Banjarmasin: Pustaka Banua.
- · Carl Lumholtz, 1917. Through Central Borneo; an account of two years' travel in the land of the head-hunters between the years 1913 and 1917. Cambridge: Cambridge Library Collection.
- · Cense, A.A.. 1928. De Kroniek van Bandjarmasin, Leiden: Santpoort.
- · Chijs, Van der. 1891. Dagh-Register Anno 1640-41, Batavia; Dijk,
- · De Gids, 1901. Vijf En Jestigstee Jaargang. Amsterdam.
- · Hermanu. 2014. Borneo 1843. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- · J. Pijnappel Gzn 1860. Beschrijving van het Westelijke gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo. Amsterdam.
- · J. T Lindblad. 2012. Antara Dayak dan Belanda: Sejarah Ekonomi Kaltim dan Kalsel 1880-1942. Jakarta: Lilin Persada.
- · L.C.D. van. 1862. Nederlandsch vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam- en Cochin-Chine, Amsterdam.
- · Norpikriadi. 2015. Sejarah, Etnisitas, dan Kebudayaan Banjar. Yogyakarta: Ombak.
- · Victor T. King. 2013. Kalimantan Tempoe Doloe. Depok: Komunitas Bambu
- · Sahriansyah. 2016. Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
- · Suwondo. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- · Tjilik Riwut. 2007. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, Yogyakarta: Galang Press.
- · O. Keat Gin. 2011. The Japanese Occupation of Borneo, 1941-1945. London: Routledege.
- · Bappeda Kabupaten Katingan. 2007. "Lima Tahun Kabupaten Katingan"
- · Sejarah Katingan oleh Pemerintah Kabupaten Katingan
- · Sejarah Sampit oleh Pemerintahan Kabupaten Kotawaringin Timur.