Minggu, 22 Januari 2017

Sejarah Pegatan Katingan Kuala : Kajian Historis dan Dinamika Transisi Kepemimpinan Mendawai, Kotim, dan Katingan (Bagian 1)


Sejarah Pegatan Katingan Kuala : Kajian Historis dan Dinamika Transisi Kepemimpinan Mendawai, Kotim, dan Katingan (Bagian 1)

Ditulis Oleh : M Najeri Al Syahrin., S.IP., M.A.



Rakit kayu di Sungai Katingan (Dekat dari Pegatan) dari Perusahaan Kayu Bruynzeel Sampit Tahun 1949


     Dalam perjalanannya, sebagai suatu daerah wilayah permukiman penduduk, Pegatan tidak bisa dipisahkan dalam hubungannya dengan Mendawai, yaitu sejak masa Kerajaan Mendawai sampai dengan kekuasaan Kerajaan Kotawaringin (Kutaringin). Pusat Kerajaan Kotawaringin tersebut berada di daerah Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat saat ini sampai dengan akhir masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Kemudian, setelah itu wilayah Pegatan masuk kedalam daerah Kabupaten Kotawaringin Timur yang beribukota di Sampit, sebelum kemudian di mekarkan kembali menjadi salah satu daerah yang masuk dalam pemerintahan Kabupaten Katingan.

Pada zaman dahulu, Pegatan-Mendawai merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam kekuasaan Kerajaan Mendawai, sampai saat ini sebutan Pegatan-Mendawai masih melekat, utamanya untuk membedakan dengan daerah Pagatan di Kota Baru Kal-Sel. Kekuasaan kerajan Mendawai dahulu diceritakan meliputi daerah muara sungai Katingan termasuk daerah Pegatan dan sekitarnya. Kurangnya referensi dan sumber sejarah tentang kerajaan Mendawai sangat menyulitkan penulis untuk memberikan gambaran mengenai seberapa besar dan kuatnya pengaruh kerajaan Mendawai terhadap Pegatan dan daerah-daerah lain khususnya di Katingan. Ada beberapa jurnal berbahasa Belanda yang menurut penulis mungkin bisa memberikan gambaran tentang Kerajaan Mendawai atau setidaknya kondisi desa Mendawai sejak tahun 1878, 1908, dan tahun 1950-1957. Jurnal pertama di tulis pada tahun 1878 yang berjudul "Mendawai-Rivier Van De Mond Tot Loeboe” (Ekspedisi menggunakan kapal Oenarang). Kemudian tulisan Survey Vessel pada tahun 1908 yang berjudul “Zuidkust Borneo, Mendawai-Rivier En Mond Der Pemboeang-Rivier” yang kemudian dipublikasikan oleh Department of The Navy Hydrographic Den Hag pada tahun 1908. Kemudian tulisan “Mendawai-Rivier” oleh Kooimans dan Gezagh de Groot yang pada waktu itu melakukan ekspedisi menggunakan kapal Burdjamhal dan Zuirderkruis pada tahun 1957 dan 1950. Ketika penulis mencoba mencari dan mengakses file dokumen sejarah tersebut, ternyata hanya bisa diakses dengan membeli username dari situs  ArchivePortalEurope.Net. 

Demang Anoem Tjakra adalah Penguasa Mendawai Pada Masa Lampau. 



A. Pegatan-Mendawai Dalam Masa Kepemimpinan Kesultanan Banjar

 Sebelum abad 14, daerah aliran sungai Katingan termasuk daerah yang masih belum terjamah, belum banyak pendatang dari daerah lain. Saat itu, satu-satunya alat transportasi adalah perahu, dan setiap suku yang ada dipimpin oleh Kepala Suku/Bakas Lewu. Mendawai merupakan salah satu lewu (kampung) tertua di daerah aliran sungai Katingan. Tahun 1350, kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin dan Mendawai, kemudian tahun 1365 kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin dam Katingan (Tjilik Riwut, 2007:107)

Dokumen tertua yang menyebutkan "Sampit dan Katingan adalah buku kakawin Negarakertagama karangan Mpu Prapanca tahun 1365, pada syair ke-13 yang berbunyi:
“Le tekang nusa Tanjungnagara ri Kapuas lawan ri Katingan-Sampit mwang Kuta Lingga mwang i Kuta Wawaringin Sambas mwang i Lawas”.
Pada masa Kerajaan Majapahit tersebut, Sampit dan Katingan (Mendawai-Pegatan) disebutkan termasuk sebagai salah satu daerah teritorial "Nusantara”. Daerah ini menikmati otonomi dan kebebasan internal  serta Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan pejabat birokratnya atau tentara militernya di wilayah tersebut. Kerajaan Mendawai yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diberikan kekuasaan otonomi untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus merasa dibawah bayang-bayang Majapahit. Kerajaan Majapahit hanya menuntut loyalitas berupa upeti tahunan dengan persyaratan tidak memberontak dengan maksud akan memisahkan diri. Itulah mengapa, kerajaan Mendawai dan kerajaan Banjar pada umumnya tidak merefleksikan kebudayaan Jawa secara utuh dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Di masa kekuasaan kerajaan Hindu, upeti dibayarkan kepada Majapahit, maka kemudian di masa kerajaan Islam berkuasa upeti dibayarkan kepada kerajaan Demak, tetapi hal itu tidak berarti kerajaan Banjar dan Mendawai menjadi bawahan Demak. Hanya ada semacam aliansi, dimana kerajaan Banjar dan seluruh wilayahnya berada dalam naungan Kerajaan Demak. (Barjie. 2014:43)

Kraton Kesultanan Banjar Yang Pada Masa Lampau Menguasai Wilayah Pegatan-Mendawai dan Katingan 

 Menurut salah satu sumber di Wikipedia, Mendawai merupakan salah satu pelabuhan Kesultanan Banjar, nama tersebut sudah ada dan disebut di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663. Di dalam Hikayat Banjar disebutkan Pangeran Martasari putera Pangeran Mangkunagara sempat maadam (merantau)  ke kampung Mendawai dan berencana meminta bantuan kepada Kesultanan Mataram untuk mengkudeta Sultan Saidullah, tetapi rencana itu gagal karena ia akhirnya sumalah (mangkat) di Mendawai, kemudian jenazahnya dibawa ke Martapura dan dimakamkan di istana. Pangeran Mangkunagara merupakan putera gahara dari Putri Nur Alam binti Pangeran Di Laut, permaisuri Sultan Hidayatullah I, tetapi gagal menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I, karena yang dinobatkan adalah Pangeran Senapati/Marhum Panembahan/Sultan Inayatullah. 

Potret Kehidupan Pasar dan Masyakarakat Banjar pada Masa Silam 


 Dalam Hikayat Banjar juga di jelaskan bahwa Mendawai memang berada di bawah kesultanan Banjar sejak abad ke-14. Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit yang memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayahnya yang terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Pembuang Sebangau, Mendawai, Katingan, dan Sampit yang mana masing-masing kepala daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai (Slamet Mulya, 2003). Selain itu, dari sumber sejarah yang lain disebutkan juga bahwa Katingan sudah termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Banjar-Hindu (Negara Dipa) sejak Lambung Mangkurat berkuasa dimana kala itu terdiri dari 2 sakai (daerah) yaitu Mendawai (di bagian hilir) dan Katingan (di bagian hulu).  


Sampit tahun 1939, Terlihat Masjid dan Koran School. Waktu itu Sampit, Menjadi Bagian dari Kesultanan Banjar. 


           Wilayah kesultanan Banjar Raya adalah sebutan bagi negeri-negeri yang menjadi wilayah pengaruh mandala kesultanan Banjar, khususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad-abad sebelumnya, dinyatakan klaim kekuasaan Banjar atas daerah-daerah ini dimulai sejak tahun 1636 (Kartodirdjo,1993:121). Dalam perjalanan sejarah, ketetapan wilayah kesultanan Banjar tidak dapat dilihat jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel, hal ini disebabkan oleh perkembangan kesultanan Banjar yang naik turun akibat pengaruh konflik saudara dan campur tangan Belanda. (Sahriansah,2016:10)


Orang-Orang Dayak (Barito-Kahayan-Katingan) Sedang Menuju Banjarmasin untuk Berdagang.  



B. Pegatan–Mendawai Dalam Masa Kepemimpinan Kesultanan Kotawaringin
             
          Hikayat Banjar memberikan penjelasan bahwa Mendawai dan Katingan termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar di bawah kekuasaan Sultan ke-4 yaitu, Sultan Mustain Billah (Marhum Penembahan). Tahun 1615, kesultanan Banjar merealisasikan berdirinya kerajaan Kotawaringin (Kutaringin). Kemudian wilayah Mendawai-Katingan merupakan salah satu daerah kekuasaan Sultan Mustain Billah diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma yang kemudian menjadi adipati/raja Kotawaringin menggantikan mertuanya Dipati Ngganding yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah: Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. (Barjie, 2016:133)

Bagi kesultanan Kotawatingin saat itu, istilah Sultan hanya diigunakan dalam birokrasi internal dan dalam hubungan dengan dunia luar selain dengan kesultanan Banjar. Sementara itu, ketika berhubungan dengan kesultanan Banjar, semua Sultan Kotawaringin menyebut dirinya sebagai Pangeran (Raja Muda), hal ini karena mereka mengganggap para Sultan Banjar sebagi saudara tua. Dalam buku“Sejarah Singkat Kesultanan Kotawaringin dan Silsilah Raja-Raja Kotawaringin” diceritakan bahwa Sultan Banjar Mustain Billah memiliki 2 orang putera, yaitu pangeran Adipati Antakusuma yang bergelar Pangeran Bengawan dan Pangeran Adipati Tuha yang bergelar Pangeran Inayatullah. Pada tahun 1678, Sultan Mustain Billah meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya, Pangeran Inayatullah hingga tahun 1685. Ketika sultan Mustain Billah masih memerintah, beliau mengutus anaknya ke daerah Kotawaringin untuk membangun Kerajaan disana. (Hermanu. 2014:27)

Kerajaan Kotawaringin saat Penobatan Pangeran Kasuma Anom Alamsyah (1939-1948)


Setelah Pangeran Inayatullah menjadi Sultan Banjar yang ke-5, maka Pangeran Adipati Antakusuma secara sukarela meninggalkan istana dan melakukan perjalanan ke arah barat kesultanan Banjar. Tujuannya adalah mencari daerah kekuasaan baru sebagai perpanjangan dari kesultanan Banjar di Banjarmasin. Pangeran Adipati Antakusuma kemudian melakukan perjalanan laut dari Sungai Barito menyisiri tepian pulau Kalimantan ke arah Barat. Dalam perjalanannya Pangeran sempat berhenti dibeberapa tempat, salah satunya di Sebangau. Dalam beberapa tulisan lain, Sebangau sering disebut sebagai suatu nama daerah dan sering menjadi tempat transit bagi yang ingin melakukan perjalanan melintasi Tanjung Malatayoer (Tanjung Matayur). Penulis menduga pada masa silam, di Sebangau juga ada kerajaan kecil, meskipun kini bukti sejarahnya sangat sulit untuk di temukan. Perjalanan Pangeran Adipati Antakusuma setelah dari Sebangau kemudian dilanjutkan ke Mendawai, Sampit, dan Pembuang. Melihat rute perjalanan yang dilakukan, Pangeran melakukan perjalanan dengan memasuki daerah aliran sungai Mentaya, Pembuang, Sebangau, dan Katingan melewati Pegatan. (Barjie,2016: 133).


Peta Tanjung Malatayur Pegatan oleh Belanda Pada Tahun 1930  

Pada akhirnya, rombongan tiba di Rantau Pulut, bagian hulu sungai Seruyan. Atas kesepakatan berbagai pihak, diangkatlah pangeran Adipati Antakusuma bin Sultan Mustain Billah sebagi Sultan pertama Kotawaringin dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin dan memimpin mulai tahun 1615-1630 M. Menurut M Ali Fadillah, Kotawaringin Lama adalah bekas ibukota pertama Kerajaan Kotawaringin. Keyakinan ini didasarkan pada bukti penemuan   bukti-bukti arkeologis deposit pecahan keramik impor terutama berasal dari Cina, Thailand, dan Vietnam. Serta ditemukan pula ratusan fragmen wadah tembikar dari berbagai bentuk. menunjukkan kekunaan dan sekaligus kompleksitas ibukota, yang antara lain diindikasikan oleh konsentrasi sisa bangunan kuna seperti “keratin”, masjid typique, makam-makam raja, serta struktur lainnya yang menunjukkan kurun waktu tertua dari abad XIV sampai abad XVII. Dengan demikian, baik peninggalan yang bersifat monumental maupun artefaktual, keseluruhannya telah menjadi bukti bahwa sejak abad XVII di Kotawaringin pernah berkembang sebuah masyarakat yang telah teroganisir baik dalam domain sosial politik, ekonomi maupun budaya.

Masjid Kerajaan Kotawaringin yang di bangun oleh Kyai Gede. 

Pada saat kesultanan Kotawaringin berkuasa saat itu, masyarakatnya dan wilayah wilayah kekuasaan disekitarnya (Mendawai) tidak perlu membayar upeti kepada kesultanan Banjar, tapi memberikannnya kepada sultan Kotawaringin. Disini terjadi transisi penting bahwa kerajaan Mendawai saat itu secara kekuasaan sudah tidak lagi berinduk kepada kesultanan Banjar di Banjarmasin tetapi kepada kesultanan Kotawaringin, hal ini  juga secara langsung berakibat kepada penyerahan upeti, yang sebelumnya diberikan kepada kesultanan Banjar kini beralih kewajiban penghantarannya kepada Sultan Kotawaringin. Meskipun pada saat itu Sultan Banjar sering membebaskan upeti kepada daerah-daerah tertentu. Selain itu, banyak juga wilayah kekuasaan lain yang membayar upeti kepada kesultanan Banjar secara sukarela, tidak dibatasi banyak atau jumlahnya. Pengantarannya kepada Sultan Banjar pun menyesuaikan musim (angin) dimana ketika pengantar upeti mampu berlayar ke Banjar maka itulah upeti dipersembahkan. (Barjie, 2016: 75-134). Berdasarkan informasi sejarah dari Pemerintah Katingan, menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya sebagai kepala daerah Mendawai,  Kiai Ingabehi Suradiraja adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah berhasil membunuh dua orang pengikut Gusti Kasim dari daerah Nagara tahun 1780, kemudian ia dilantik sebagai pembantu utama syahbandar di pelabuhan Tatas (Banjarmasin).

Transisi kepemimpinan selanjutnya terhadap daerah Mendawai dan Katingan, kini dipegang oleh pemerintahan Hindia Belanda. Terdapat dua tahapan penyerahan daerah-daerah di Kalimantan Tengah termasuk Mendawai dan Katingan dari Sultan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Tahapan pertama, menurut dokumen “Surat-surat Perdjanjian Antara Kesultanan Bandjarmasin dengan Pemerintahan V.O.C : Bataafse Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635 -1860” pada Traktat yang disepakati 13 Agustus 1787, yang terdiri atas 36 pasal kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman lebih diperinci lagi, sehingga wilayah Kesultanan Banjar tidak sebesar wilayah sebelumnya. Sultan Tahmidullah II dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, termasuk wilayah Katingan, Mendawai dan Kotawaringin kepada VOC Belanda, dimana pada akhirnya berkembang menjadi sebuah Distrik dengan Kepala Distriknya adalah Demang Anggen yang dilantik oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 10 Januari 1896. Secara resmi daerah daerah Katingan tersebut diduduki Belanda sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. (Sahriansah,2016:13)   ........ Bersambung ke Bagian 2 ..... 

Kraton Kotawaringin Tempat Tinggal Raja Penguasa Pegatan-Mendawai pada tahun 1928 


BERSAMBUNG ................ (BAGIAN 2)


2 komentar: